Di belakang rumah itu, Emak
selalu bercerita. Dibawah pohon mangga yang dulu Berjaya. Berbuah luar biasa
banyaknya, dengan dengan ukuran yang membuat mulut sedikit menganga sambil
mengecap dan menelan ludah.
Sepanjang musim mangga
tiba, anak-anak tetangga selalu bergembira. Mereka akan makan mangga. Begitu
yang Eyang lakukan waktu emakku masih kecil. Membagi-bagikan mangga yang sudah
masak.
Tak satupun buah mangga
yang kata orang-orang laku mahal itu membuat Eyang terbujuk untuk menjualnya kepada tengkulak.
Tak sedikit pula tengkulak menawarkan banyak uang, tapi oleh eyang hanya dikasih dua
buah dan mengembalikan uangnya.
Kalau pagi tiba, para
tetangga silih berganti menyirami pohon mangga dengan air bekass cucian ikan.
Biar tambah manis, katanya. Bahkan sampai sekaran, saat emak sudah hamper
seusia Eyang dulu, para tetangga masih setia menyirami pohon mangga. Kau kenapa
tak mau berbuah lagi, katanya.
Dahan paling besar itu
sudah lama merunduk. Abangmu kalau marah pasti bersembunyi dibalik pohon mangga
itu, kata emak. Itu waktu abangku masih kecil. Tapi sampai aku sudah tak
memakai seragam putih abu-abu, belum juga kulihat bagaimana rupa abangku itu.
Sejak kecil yang kutau hanya aku punya abang bernama Badrun. Itu saja.
Abangmu Badrun entah sudah
setua apa sekarang. Emak selalu menghembuskan napas panjang kalau memikirkan
hal itu. Kalau keluar kota lalu bertemu seseorang bernama Badrun, aku selau
berharap dialah Badrun anaknya Emak. Oh, saya Ahmad Badrun anak si Suta, Oh,
saya Dul Badrun anak si Naya. Tak satupun nama Emak mereka sama dengan nama
Emakku.
Pohon mangga tak lagi
berbuah. Badrun abangku tak pernah pulang. Kasihan Emak dan para tetangga, Emak
habis-habisan memikirkan Badrun. Kalau soal pohon mangga ini, biar kami yang
mengurus, begitu yang ditawarkan para tetangga.
Kata Emak Badrun pandai
memilih mangga yang masaknya paling sempurna. Dia kalau marah, suka sembunyi di
pohon, bagaimana bisa tidak hapal. Kalau dia sembunyi sambil menangis, kata
Emak, matanya jelalatan melihat mana mangga yang paling masak. Memang dia
marah, tapi kalau turun dari pohon, ada empat sampai lima buah mangga yang
dibawanya. Kata Emak, mangga yang diambil Badrun benar-benar manis.
Dia itu sebenarnya anak
bail, tak pernah ia pulang membawa rapor merah. Bapak dan ibu guru selalu
mengacungkan jempol untuknya. Cuma saying, saat ia lulus smp, Bapak meninggal.
Lalu dia prig kerja. Dua bulan setelahnya baru aku lahir.
Tak ada Badrun, tak ada
buah mangga. Mereka tinggalah cerita. Pohon mangga itu adalah peninggalan Eyang.
Ditanam tepat ketika Emak lahir. Dan sekarang, pohon itu sakit.
***
Kursi panjang berbahan
bamboo wuluh bikinan bapak itu sudah tak lagi kokoh . kalau aku rewel waktu
kecil dulu, Emak sering menyanyi dan mendudukkanku di kursi bamboo itu. Sama,
abangku kalau rewl begitu, juga Emak nyanyikan, kata Emak.
***
Ada banyak orang dirumah,
sebagian disekitar pohon mangga. Mereka duduk di kursi bikinan Bapak itu. Dan
yang ada di dalam rumah sebagian membacakan Surat Yasin, sebagian lagi mondar
mandir di depan jendela.
Mata Emak makin mendekati
terpejam. Tapi aku tahu dia itu melihatku. Aku masih memikirkan Badrun, kasihan
Emak. Aku keluar sebentar melihat pohon mangga. Lalu masuk lagi menuju Emak.
“Bagaimana kalau Emak kita
pindahkan kebawah pohon mangga,” kataku.
“Jangan! Biar di sini
saja,” Kang Sarta melarang.
Tangan Emak
melambai-lambai. Matanya terus menatapku. Semua orang memperhatikan. Emak sudah
tak mampu bersuara. Hanya tinggal jemarinya menuding-nuding pohon mangga.
“Baiklah, kita pindahkan
saja ke sana,” kang Sarta memutuskan cepat.
Dibawah pohon mangga Emak
dibaringkan. Sudahlah mak, jangan terlalu banyak berfikir. Ini pohon mangga
sudah banyak yang mengurus. Para tetangga makin rajin menyiramkan air cucian
ikan.
Mata Emak menatap dahan
yang merunduk. Di situ Badrun dulu sering bersembunyi.Kang Sarta juga tahu
kalau Badrun suka bersembunyi di sana.
Aku memanggil Kang Sarta.
Soal badrun, aku akan mengarang cerita buat Emak.mungkin Emak bisa sedikit
lega. Kang Sarta tak mau ikut campur soal itu.
Aku mendekati Emak,
tangannya melambai-lambai mengelus
jemariku. Mengenai kepergianku memenuhi undangan Kag Martin kemarin, ada
sedikit kabar tentang Badrun. Kang Martin juga sudah lama tak pulang rupanya
tahu keberadaan Badrun.
Kang Badrun baik-baik saja,
mak. Kemarin dia nitip uang buat Emak. Dia akan pulang, tapi sebelumnya Emak
harus sembuh. Pokoknya, kalau Emak sembuh, aku langsung menemui Kang badrun.
Ingat, mak, harus sembuh dulu.
Emak menggeleng. Kang Sarta
agak ragu, Dia menarikku.
“Bagaimana kalau Emak
benar-benar sembuh? Akan kau cari di mana abangmu?”
“Belum tahu Kang, yang
penting Emak sehat dulu.”
“Terus, kalau sudah sehat?”
***
Aku merasa dosaku sangat
banyak, bohong kepada Emak soal Badrun. Hanya Emak yang tidak tahu. Di bawah
tempatnya berbaring, itu adalah kuburan Badrun. Kemarin waktu Emak tak bisa
bangun, aku pergi ke tempat yang ditunjukkan Kang Martin. Di sana memang tempat
abangku bekerja. Tapi rupanya disana pula tempat abangku menghembuskan napas
terakhir.
Kebetulan saat itu Emak
sakit tak bisa bangun selama beberapa hari. Para tetangga sudah sepakat untuk
merahasiakan itu. Yang Emak tahu, para tetangga menbaca Yasin untuknya. Padahal
bukan. Yasin itu untuk Badrun.
“Abangku sakit apa Kang?”
tanyaku kepada Kang martin.
“Wah aku tidak tahu, dia
sudah terbaring tiga hari di kamar.”
Ah, makin pusing memikirkan
hal itu. Yang penting sekarang Badrun sudah dimakamkan. Sekarang atau besuk pun
dia juga akan meninggal. Tapi satu yang masih aku sayangkan. Emak. Hanya Emak.
Kasihan Emak.
Apalagi dibawah pohon
mangga itu mata Emak selalu berkaca. Kang Sarta menunjukkan wajah prihatin.
“Druuun,” kata Emak lirih.
“Druuun ….”
“badrun belum pulang, mak.
Emak sembuh saja dulu.”
“Turun, Druuun …. Turun.”
Para tetangga ikut menatap
apa yang ditatap Emak.
“badrun tidak disitu, mak,”
Kang sarta meyakinkan.
“Druuun …. Turun Drun,
turuuun …. “
“Mak, badrun pu;ang besuk,
mak. Emak sudah sebuh saja dulu.”
Emak terus
memanggil-manggil Badrun. Terus memanggil. Lirih, makin lirih, terus lirih, dan
lirih.
Hammidun Nafi’ Syifauddin, cerpennya dimuat dalam buku kumpulan 20 Cerpen Terbaik Kemenpora 2011 dan antologiPembunuh Bulan Perawan (Soeket Teki). Lelaki kelahiran Jepara, 30 September 1990, masih tercatat sebagai Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.