Rasulullah saw bersabda:
“Kaum (umat) Yahudi akan
terpecah diantara mereka menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua
golongan, dan kaum (umat) Nasrani akan terpecah diantara mereka menjadi tujuh
puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah diantara
mereka menjadi tujuh puluh tiga golongan”(Abu Daud, at-Tarmizi, al-Hakim, dan
Ahmad adalah beberapa orang diantaranya yang merawikan hadits ini.)
Dalam versi yang lain,
Imam Ahmad mencatat bahwa Abu Amir Abdullah bin Luhay menyatakan: “Kami sedang
melaksanakan haji bersama dengan Mu’awiyah bin Abu Sofyan. Ketika kami sampai
di Mekah, dia (Mu’awiyah) berdiri setelah menyelesaikan shalat Zuhur dan
berkata; ‘Rasulullah saw bersabda:“Para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) akan
terbagi/terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Umat ini akan terpecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, dan seluruhnya akan terjatuh kedalam api
neraka kecuali satu golongan. Beberapa dari umatku akan dikendalikan oleh hawa
nafsunya, sebagaimana seseorang yang terjangkit penyakit anjing gila; tidak ada
sebuah pembuluh darah ataupun sendi tubuhnya yang selamat dari nafsu ini.”
Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Abu Daud (2/503), Ahmad (4/102) dan al-Hakim (1/128) beberapa
diantara banyak perawinya, dengan kata-kata yang sama tetapi ditambah dengan
kata-kata berikut: “Tujuh puluh dua masuk kedalam neraka dan satu masuk ke
surga: yaitu Jama’ah.” Beberapa ulama, seperti as-Shawkani dan al-Kawthari
salah pengertian ketika menyatakan bahwa kata tambahan ini lemah. Ibnu Hazim
salah besar ketika ia menyatakan bahwa kata-kata tersebut ‘dibuat-buat’
(ditambah-tambahi).
Sangat penting bagi seorang
muslim untuk mengerti isi hadits ini dengan konteks yang jelas dan benar. Jadi,
dengan pertolongan dari Allah SWT, sebuah presentasi yang mendetail mengenai
maksud dari hadits ini, manifestasi sejarahnya, dan pengaruh yang dihasilkannya
kepada cara pandang/anggapan umat Islam antara satu dengan yang lain akan
dipaparkan. Hadits ini telah digunakan oleh orang-orang tertentu untuk
meremehkan/memandang rendah saudaranya yang lain; sehingga beberapa saudara
kita yang mengikuti Ijtihad dari Seikh Mohammad bin Abdul Wahab, misalnya,
menganggap saudara-saudaranya (sesama muslim) yang tidak mengikuti Ijtihad
mereka, sebagai golongan yang akan masuk kedalam neraka (sesat). Dan beberapa
yang mengikuti mazhab Shafi’i menyatakan hal ini juga terhadap saudara-saudaranya
(sesama muslim) yang mengikuti mazhab Hanafi, dan begitu pula yang dinyatakan
oleh beberapa pengikut mazhab Hanafi tentang Shafi’i, dan seterusnya…dan
seterusnya. Beberapa pengikut Sunni juga menyatakan hal yang sama kepada
pengikut Shiah, dan begitu juga sebaliknya. (Jangankan mazhab, antar harakah
saja sudah menyatakan sesat antara satu dengan yang lainnya..-pent-)
Hadits tersebut menyebut
kata ‘Firqah’; kata ini mempunyai lafaz mushtaraq, atau homonim. Kata ini
merupakan kata yang mempunyai banyak arti/makna. Allah SWT menyebut kata ini
dengan berbagai makna dan konteks yang berbeda di dalam al-Qur’an.
Contohnya:
Tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi beberapa orang [firqah] dari tiap-tiap golongan [taifah] di antara mereka
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya (dari kejahatan). (QS. at-Taubah: 122)
Disini, kata firqah
digunakan untuk menyatakan beberapa orang (grup) atau utusan yang melaksanakan
perintah Allah. Dalam ayat yang lain:
Sesungguhnya di antara
mereka ada segolongan (firqah) yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab,
supaya kamu menyangka apa yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab, padahal ia
bukan dari Al-Kitab dan mereka mengatakan:Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi
Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah,
sedang mereka mengetahui. (QS. Ali-Imran: 78)
Kembali disini kata
firqah digunakan, tapi dalam konteks ini, sebagai sesuatu/seseorang yang
dikutuk, karena tindakan yang mereka lakukan telah menyimpang dari wahyu Allah.
Jadi konteks (makna) dari
isi kalimat tersebutlah yang mengindikasi arti sebenarnya dari kata yang
dipergunakan.
Dengan rasa hormat kepada
hadits tersebut, Rasulullah saw menjelaskan kepada kita semua bagaimana umat
Yahudi akhirnya terpecah kedalam 71 golongan atau firqah, dan umat Nasrani pun
sama, terpecah kedalam 71 firqah. Dan Rasulullah saw menyatakan pula bahwa umat
Islam pun akan terpecah menjadi 73 golongan, dan seluruh golongan tersebut
kecuali satu yang mengikuti Rasul saw dan sahabat-sahabatnya, akan masuk
kedalam neraka.
Jadi, menyatakan
pembagian diantara golongan umat muslim diatas, yang diperbandingkan dengan
kaum Yahudi dan Nasrani menunjukan kata tersebut sebagai orang/golongan yang
terkutuk karena telah melakukan sesuatu hal yang menyimpang sebagaimana Ahlul
Kitab yang sebelumnya (Yahudi dan Nasrani). Pertanyaan yang kemudian muncul
adalah, di area (bagian) manakah umat Yahudi dan Nasrani yang tidak sepakat
dalam menjalankan agama mereka dan bagaimana ketidaksepakatan mereka itu
berakibat pembentukan berbagai ‘firqah’ atau golongan? Al Qur’annul Karim
memerintahkan kita untuk tidak ‘terpecah-belah’ sebagaimana kaum Yahudi dan
Nasrani. Disini, sangatlah penting bagi kita untuk mengerti hal-hal yang
menyebabkan terpecahnya umat Ahlul Kitab tersebut:
a) Mereka ingkar terhadap
Nabi-nabi mereka. Allah SWT berfirman:
Dan sesungguhnya Kami
telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya
(berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan
bukti-bukti kebenaran (mu’jizat) kepada ‘Isa putera Maryam dan Kami
memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul
membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu
menyombong; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa
orang (yang lain) kamu bunuh. (QS. Al-Baqarah: 87)
Dan kemudian Allah SWT
berfirman:
“..Dan Kami berikan
kepada ‘Isa putera Maryam beberapa mu’jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul
Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan
orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka
beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara
mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir….. (QS.
Al-Baqarah: 253)
b) Mereka juga
mengingkari kitab-kitab mereka. Allah SWT berfirman:
…..Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan
kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang
kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS.
Ali-Imran: 19)
c) Diantara mereka
terpecah satu sama lainnya, dan saling tuduh-menuduh bahwa fihak yang satu
lebih baik dan yang fihak lain adalah kafir. Allah berfirman:
Dan orang-orang Yahudi
berkata:”Orang-orang Nasrani itu tidak punya suatu pegangan”, dan orang-orang
Nasrani berkata:”Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan”, padahal
mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak
mengetahui, mengucapkan sama seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan
mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka
berselisih padanya. (QS. Al-Baqarah: 113)
Jika kita pelajari di
wilayah/bagian mana diantara mereka yang berbeda dan menyimpang, kita akan melihat
bahwa mereka berbeda pada hal-hal yang paling mendasar (fundamental) pada agama
mereka. Mereka ingkar kepada Nabi-nabi mereka, mereka ingkar terhadap hari
pengadilan (hisab), mereka ingkar terhadap keEsa-an Allah, hari berbangkit
kembali (di padang mahsyar), surga dan neraka, dan lain-lain. Perbedaan ini
merupakan perbedaan pada pondasi kepercayaan dan agama mereka. Karena Allah SWT
dan Rasulullah saw memerintahkan kita agar kita tidak terpecah-belah
sebagaimana para umat Ahlul Kitab yang lain, maka kita harus menghindari
hal-hal/wilayah-wilayah dimana perbedaan dari para ahli kitab tersebut muncul.
Ini berarti perbedaan mengenai dasar/pondasi keagamaan kita akan dikutuk oleh
Allah, dan hal inilah yang menjadikan seorang muslim/kelompok muslim jatuh menjadi
kafir. Untuk lebih jelas lagi, mari kita lihat ayat dibawah ini:
Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu terpecah-belah… (QS.
Ali-Imran: 103)
Ayat diatas telah
menerangkan dengan jelas sekali, Allah telah memerintahkan umat muslim untuk
berpegang teguh kepada agama Allah, dan tidak melepaskan agama (perintah dan
peraturan yang telah diturunkan dan ditentukan) Allah, dan jangan
terpecah-belah.
‘Tali (agama) Allah’
Ibnu Mas’ud ra, Ali bin
Abi Talib ra dan Abu Sa’id Al-Kuddrri ra menyatakan bahwa kata ‘tali Allah’
tersebut adalah AlQur’an. Yang lain menyatakan bahwa kata di atas berarti agama
Allah (Dien). Ada juga beberapa, seperti Ibnul Mubarak yang mengatakan kata
‘tali Allah’ tersebut adalah Jama’ah.
‘Dan jangan
terpecah-belah’
At-Tabari menyatakan;
“…..dan janganlah memisahkan diri dari agama (Dien) Allah dan seruanNya yang
tercantum dalam Kitab-Nya: bahwa kamu harus bersama-sama dalam menaati
perintah-Nya dan Nabi-Nya saw.”
Ibnu Katsir berkata: “Dia
(Allah) memerintahkan mereka (umatnya) untuk tetap berada dalam Jama’ah dan
jagan memisahkan diri”
Al-Qurtubi berkata: “
Jangan terpecah-belah sebagaimana kaum Yahudi dan kaum Nasrani dalam agama
(Dien) mereka…. dan itu bisa berarti jangan berpisah hanya berdasarkan
nafsu-nafsu/keinginan- keinginanmu, dan hanya berdasarkan
minat/kepentingan-kepentinganmu.”
Oleh karena itu,
perbedaan yang tidak diperbolehkan bagi umat adalah perbedaan dalam
inti/pondasi dalam Dien (misal: rukun Iman, rukun Islam, peraturan yang jelas
termaktub dalam al-Qur’an,-pent-) mereka, dan bukan dari cabang-cabangnya. Hal
ini berdasarkan atas beberapa sebab:
a) Sunnah dari Rasulullah
saw yang memperbolehkan perbedaan pendapat dalam pelaksanaan, cabang (Furu’).
b) Perbedaan pendapat
yang terjadi diantara para sahabat ketika berada dalam masalah Furu’, bukan
didalam Usul (fondasi dari Dien). Tidak ada hukuman/teguran yang dibuat tentang
perbedaan pendapat semacam itu.
c) Kaum Tabi’ien dan
generasi selanjutnya yang mengikuti mereka, serta para ulama-ulama salaf
(pendahulunya) menerima perbedaan pendapat dalam Furu’ tetapi tidak jika sudah
menyangkut Usuluddien (pondasi agama/Dien).
Sebagai contoh,
Ash-Shafi’i ra menyatakan dalam bukunya Ar-Risalah; “Perbedaan pendapat terbagi
menjadi dua: Yang satunya haram dan yang lainnya tidak. Segala sesuatu yang
telah ditentukan oleh Allah dan telah nyata terbukti (Hujjah) di dalam
Kitab-Nya atau dengan jelas dinyatakan oleh Rasulullah saw adalah haram untuk
tidak diakui (ingkari) oleh orang yang telah mengetahui hal tersebut (isi
ketentuan tersebut –pent-). Sedangkan bagian lain yang bisa diartikan/mempunyai
makna yang berbeda atau dengan analogi (kiasan), karena teks (AlQur’an dan
sunnah) tersebut bisa dikatakan masih sederhana/masih merupakan dasar….. masih
ada ruang untuk perbedaan pendapat/pelaksanaannya, tidak seperti teks yang
jelas/terang maknanya.
Ibnu Taymiyah ra dalam
bukunya al-Fatawa al-Kubra, vol.20, hal.256 menyatakan; “Kemudian, teks-teks
tersebut (sunnah) terbagi atas: Yang pasti/jelas dalam dalalah (arti)nya.
Kepastiannya ditentukan oleh perawi-perawinya (Sanad) dan juga isinya (Mata),
jika kita sudah pasti bahwa Rasulullah saw menyatakannya dan maknanya sama
dengan yang dinyatakannya.Yang lain adalah yang tidak pasti/jelas dalalah
(makna/arti)nya. Sebagaimana yang pertama, teks tersebut harus dipercayai dan
dilaksanakan menurut pendapatnya masing-masing. Hal ini disepakati oleh ulama
pada umumnya. Yang mungkin jadi perbedaan pendapat dari para ulama, dibeberapa
berita (hadits) apakah para perawinya jelas/pasti (Qat’i) atau tidak. Sebagai
contoh sebagaimana perbedaan pendapat tentang apakah kabar/hadits yang di bawa
oleh hanya seorang (Khabarul Wahid/kabar ahad) hanya bisa diyakini (diimani)
oleh umat, atau salah satu hadits yang bisa disetujui umat untuk dilaksanakan.”
Jadi, permasalahan
tentang hadits yang didiskusikan (hadits diatas tentang pembagian
firqah/golongan) tersebut bukanlah tentang perbedaan-perbedaan yang timbul dari
interpretasi/penafsiran dari teks-teks (al-Qur’an dan hadits yg dalalahnya
tidak terang) tersebut, yang interpretasinya sangat mempengaruhi dalam
menentukan arti/makna teks tersebut. Tetapi mengutuk firqah-firqah
(golongan-golongan) yang berbeda dalam pondasi Dien-nya. Yang pasti, para
sahabat seringkali berbeda pendapat pada banyak hal, yang terkait kepada
masalah-masalah cabang (misal: cara pelaksanaan shalat, hukum tata negara, dan
lain-lain) dari Dien, tetapi mereka tetap sepakat dan mempunyai hanya satu
pendapat jika masalahnya adalah masalah pondasi dari Dien/agama. Kemudian,
Mujtahid-mujtahid besar dalam Islam pun mempunyai perbedaan pendapat di
berbagai aspek agama Islam, tetapi sekali lagi masalah yang menjadi dasar
perbedaan tersebut adalah dalam cabang-cabang. Jadi ‘firqah’ yang dihukum dan
masuk ke dalam api neraka, bukanlah grup/golongan yang mempunyai
perbedaan-perbedaan yang sah dan diperbolehkan. Oleh karena itu, mereka-mereka
yang mengikuti mazhab-mazhab tertentu seperti Shafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki,
bahkan mereka yang mengikuti faham ulama-ulama pemikir dari Shi’ah seperti
Ja’fari atau Zaidi, tidaklah bisa diberi label ‘kafir’atau ‘sesat’ (Apalagi
hanya sekedar perbedaan ‘kecil’ seperti beda grup dan harakah).
Sebaliknya,
golongan-golongan/firqah yang disebutkan didalam hadits tersebut adalah mereka
yang telah meninggalkan lingkup Islam seperti Qadiani (Ahmadiyah) yang
mengklaim kenabian sesudah nabi Muhammad saw, atau mereka-mereka yang termasuk
kedalam kelompok Alawi, yang mengklaim bahwa Ali ra merupakan inkarnasi/titisan
Tuhan (semoga Allah melindungi kita dari kesesatan tersebut) atau mereka yang
mengingkari adanya hukuman di akhirat, dan lain-lain. Kelompok apapun yang
kepercayaannya berlawanan dengan ayat-ayat AlQur’an yang terang/jelas, berarti
telah jatuh dan keluar dari lingkaran Islam.
Salah seorang ulama dari
mazhab Hanafi, Ibnu Abidin menyatakan; “Tidak ada keraguan terhadap kesesatan
(kekafiran) mereka yang menyatakan tuduhan palsu bahwa Sayyida Aisyah ra telah
berzina, menolak persahabatan Sayyidina Abu Bakar ra, mempercayai bahwa
Sayyidina Ali ra adalah Tuhan atau bahwa malaikat Jibril telah salah menurunkan
wahyu kepada Rasulullah saw, dan lain-lain, yang telah jelas kafir dan
berlawanan dengan ajaran Qur’an.” (Radd al-Muhtar, 4/453).
Ibnu Abidin meneruskan; “
adalah sulit untuk membuat pernyataan secara umum bahwa Shi’ah telah sesat,
karena para ulama memperbolehkan adanya perbedaan dan penyeberangan
(perpindahan) dari golongan-golongan yang berbeda.”
Bahkan ulama Shi’ah,
Allama Muhammad Hussein Tabatabai, menulis didalam penafsirannya yang sangat
terkenal, Tafsir-ul-Mizan, edisi ke 12, halaman 109, yang diterbitkan di Iran,
tentang kesempurnaan al-Qur’an: “al-Qur’an, yang diturunkan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad saw, dilindungi dari perubahan apapun.”
Sayangnya, ketidak
fahaman dan kefanatikan dari beberapa grup-grup tertentu telah menyebabkan
mereka menilai grup yang lain takfir atau khawarij, seperti yang telah di
lakukan oleh Yahudi dan Nasrani. Ini adalah cara berfikir yang hanya menghargai
pendapat mereka sendiri, dan pandangan mereka terhadap masalah apapun yang
menyangkut Dien (agama Islam) sebagai ‘tidak perlu dipertanyakan lagi
kebenarannya’. Dan kepercayaan atau pendapat yang lain yang berlawanan atau
mempunyai perbedaan walau sedikit dari pendapat mereka adalah tidak layak,
tidak masuk akal atau sesat.
Umat Muslim adalah satu.
al-Qur’an bisa didapat disetiap mesjid, diseluruh penjuru dunia, apakah
letaknya di Karachi, Teheran, Kairo, Madinah, atau Algeria adalah satu. Allah
SWT berfirman:
Sesungguhnya (agama
tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu,
maka sembahlah Aku. (QS. Al-Anbiya: 92)
Bagaimanapun seorang
muslim merupakan saudara dari muslim yang lain, apakah dia itu Shiah, Sunni
atau siapapun ahli (ulama) yang ia tiru atau Mujtahid yang mana yang ia ikuti
ajarannya. Hal inilah yang telah di ajarkan Rasulullah saw kepada kita;
“Seorang muslim merupakan
saudara dari muslim yang lain, dia tidak menindas(saudara)nya dan dia juga
tidak menyerahkannya kepada musuh, dia tidak mengecewakannya, dan juga tidak
memepermalukannya.”
Allah SWT berfirman:
…..Dialah (Allah) yang
telah menamai kamu sebagai orang-orang muslim…. (QS Al-Hajj: 78)
Apapun perbedaan pendapat
yang muncul, adalah sesuatu hal yang bisa kita serahkan kembali kepada ayat
suci;
Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)
Jadi, jelaslah bagi
mereka yang telah mengamati dan menyadari, bahwa kaum kuffar (kafir) telah
bergabung bersama melawan kita umat Islam dan menjebak kita semua kedalam suatu
kurungan (jebakan) besar dan tidak akan membiarkan satu haripun lewat tanpa
menumpahkan darah beberapa orang muslim. Walaupun faktanya orang-orang kafir
tersebut terpecah-pecah agamanya sesuai dengan keinginan dan nafsunya
masing-masing, tetapi mereka bersatu dalam perang melawan Islam, dan
berlomba-lomba melawan rasa permusuhan mereka (dalam mewujudkan hal tersebut).
Jadi tidak inginkah kita bersatu bersama untuk melawan mereka, dalam ikatan
Islam, bukannya secara dibuat-buat dan dicari-cari memisahkan diri
masing-masing kedalam label ‘Sunni’ atau ‘Shiah’, ataupun berbagai
mazhab-mazhab dan kelompok-kelompok yang lain?
Adapun orang-orang yang
kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu
(hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu
(keharusan persaudaraan dan kesatuan yang teguh antara kaum muslimin), niscaya
akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al-Anfal:
73)